AKIDAH

BERILMU SEBELUM BERKATA DAN BERAMAL


Teman2 yang kami cintai karena Alloh, pernahkah kita ditanya oleh orang lain tentang sesuatu? Atau bahkan tentang agama? Nah, bagaimana selama ini kita menyikapinya? Selalu berusaha memberikan jawaban walaupun terkadang ST (sok tahu)? Atau selalu menjawab tidak tahu? Atau menghindar? Atau hanya geleng-geleng kepala? Atau diam sejuta bahasa? Atau yang lainnya??? Apapun yang kita dilakukan, mari kita koreksi diri kita masing2, apakah selama ini ketika kita bicara sudah “dipikirkan terlebih dahulu”? atau “sukur keluar begitu saja”? Maka renungkanlah wahai saudaraku…

Berikut pembahasan berkaitan dengan ilmu, kata, dan amal. Semoga bermanfaat.

Alloh Ta’ala berfirman: "Tanyalah kepada ahli ilmu jika memang kamu tidak mengetahuinya." (An-Nahl: 43 dan Al-Anbiya: 7)

Di dalam ayat yang ini Alloh telah mewajibkan kepada dua golongan manusia.

Pertama, mereka yang berilmu wajib berbicara dan menjawab dengan ilmunya.

Kedua, mereka yang tidak mengetahui wajib bertanya kepada ahli ilmu. Ini disebabkan karena Islam mendasari segala sesuatunya dengan ilmu. Dan ini dapat kita lihat dari kaidah-kaidah yang ada di dalam Islam di antaranya:

1. Ilmu Terlebih Dahulu Sebelum Berbicara dan Beramal

Firman Alloh, "Ketahuilah! Sesungguhnya tidak ada satupun tuhan (yang berhak disembah dengan benar) kecuali Allah." [Muhammad: 19]

Berkata Al-Imam Bukhari di Shahih-nya (Kitabul Ilmi Bab 10), Bab Al-Ilmu Qablal Qaul wal Amal (Ilmu Lebih Dahulu Sebelum Perkataan dan Perbuatan) berdasarkan firman Allah, "Maka Allah memulainya dengan ilmu."

Berkata Al-Imam Ibnul Munir di dalam mensyarahkan bab di atas, "Yang dimaksud ialah bahwa ilmu menjadi syarat sahnya perkataan (qaul) dan perbuatan (fi'il). Maka tidaklah dianggap keduanya (yakni perkataan dan perbuatan itu) kecuali dengan ilmu. Oleh karena itu ilmu di dahulukan dari keduanya ...." [Fathul Baari, Kitabul Ilmi bab 10]

2. Larangan Berbicara Tanpa Ilmu

Firman Allah, "Dan jangan engkau mengucapkan (sesuatu) yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya." [Al-Israa: 36].

Al-Imam Ibnul Qayyim di kitabnya I'laamul Muwaqi'in (Juz 1 hal 7) menurunkan perkataan Al-Imam Ibnu Abdil Bar Abu Umar, "Telah sepakat manusia (yakni ulama) bahwa muqallid itu tidak dihitung dari ahli ilmu. Karena sesungguhnya ilmu itu ialah pengetahuan tentang Al-Haq (kebenaran) dengan dalilnya."

Al-Imam Ibnul Qayyim menyetujuinya kemudian beliau menjelaskan, "Sesungguhnya manusia (yakni ulama) tidak pernah berselisih bahwa ilmu itu ialah pengetahuan yang dihasilkan dari dalil. Adapun tanpa dalil maka tidak lain melainkan taklid."

Di kitab yang sama (hal 38 juz 1) Ibnu Qayyim menegaskan bahwa sebesar-besar perbuatan yang haram ialah berbicara dengan tanpa ilmu di dalam berfatwa dan memutuskan hukum. Kemudian beliau membawakan syahid-nya yaitu firman Allah di dalam surat Al-A'raaf ayat 33. Akhirnya beliau menyimpulkan bahwa perbuatan ini adalah sekeras-keras yang diharamkan yaitu berbicara atas nama Allah dengan tanpa ilmu. Dan ini sifatnya umum berbicara atas nama Allah dengan tanpa ilmu di dalam nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya dan pada Agama-Nya dan Syari'at-Nya. Oleh karena itu kaum salaf sangat tidak menyukai tergesa-gesa di dalam berfatwa dan keadaan mereka wara' sekali dalam masalah ini. Sehingga kalau mereka berkumpul dan salah seorang di antara mereka ditanya tentang sesuatu masalah, yang ditanya itu ingin kalau saudaranya yang menjawab atau membawakan haditsnya. Bahkan mereka berkata bahwa orang yang berfatwa atau menjawab setiap pertanyaan yang orang tanyakan kepadanya orang itu gila! Dan alangkah ringan dan mudahnya mereka mengucapkan "Laa Adri (saya tidak tahu!)."


Dari Abdurrahman bin Laila dia berkata, "Aku pernah menjumpai seratus dua puluh orang shohabat Rosulullah Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam -saya kira di masjid- maka tidak ada seorang pun di antara mereka yang membacakan hadits melainkan dia ingin saudaranya mencukupinya yang membacakan hadits. Dan tidak seorangpun di antara mereka yang berfatwa melainkan dia

ingin kalau saudaranya yang mencukupi berfatwa."


Dalam riwayat yang lain berkata Abdurrahman bin Abi Laila, "Aku jumpai seratus dua puluh orang dari (kaum) Anshar shohabat-shohabat Rosulullah Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam tidak seorang pun di antara mereka yang ditanya tentang sesuatu melainkan ingin kalau saudaranya yang mencukupi (menjawab)nya. Dan tidak seorang pun di antara mereka yang membacakan satu hadits melainkan ingin kalau saudaranya yang mencukupi (membacakan)nya."

Berkata Ibnu Abbas (dan ini lafadznya) dan juga Ibnu Mas'ud, "Sesungguhnya setiap orang yang berfatwa kepada manusia pada setiap permasalahan yang mereka tanyakan kepadanya, sungguh orang itu adalah gila." [I'laamul Muwaqqi'in juz I hal 34]


Berkata Sahnun bin Said, "Manusia yang paling berani di dalam berfatwa ialah yang paling sedikit ilmunya di antara mereka. Adakalanya seorang itu menguasai satu bab ilmu yang dia menyangka bahwa kebenaran itu semuanya ada di dalam bab itu(!?)." [I'laamul Muwaqqi'in juz I hal 34]

Berkata Imam Abu Dawud di Masaail-nya, "Aku tidak pernah menghitung (lantaran seringya) aku mendengar Ahmad ditanya tentang kebanyakan yang di ikhtilafkan tentang ilmu (yakni perselisihan ilmiyyah diantara ulama) lalu beliau menjawab, "Aku tidak tahu/Laa adri."


Berkata Abu Daud, "Dan aku pernah mendengar beliau berkata. 'Aku tidak pernah mendengar seseorang yang paling bagus di dalam berfatwa dari Ibnu Uyaynah. Beliau adalah orang yang sangat ringan mengucapkan, "Saya tidak tahu/Laa adri!"


Berkata Abdullah bin Ahmad di Masaail-nya, "Aku pernah mendengar bapakku berkata, 'Telah berkata Abdurrahman bin Mahdi, "Seorang dari penduduk Maghrib pernah bertanya kepada Malik bin Anas tentang sesuatu masalah, lalu beliau menjawab, 'Aku tidak tahu!" Lalu orang itu berkata, 'Ya Aba Abdillah engkau mengatakan, "Saya tidak tahu?" Jawab Imam Malik, "Ya. Maka sampaikanlah kepada orang yang di belakangmu sesungguhnya aku (Malik bin Anas) tidak tahu."


Berkata Abdullah bin Ahmad, "Seringkali aku mendengar bapakku ditanya tentang beberapa masalah dan beliau menjawab, 'Saya tidak tahu." [I'laamul Muwaqqi'in juz I hal, 33 dan juz II hal 165 s/d 168]

Oleh karena itu para ulama telah menetapkan beberapa syarat bagi siapa saja yang akan berfatwa atau bersoal jawab sebagaimana keterangan di bawah ini dari para imam kita.

Berkata Al-Imam Ahmad -dalam salah satu riwayat dari anak beliau Shalih-, "Patutlah bagi seseorang yang membawa dirinya untuk berfatwa bahwa dia harus 'alim (berilmu) terhadap jalan-jalan Al-Qur'an (yakni ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur'an), alim dengan sanad-sanad (hadits) yang shahih, alim dengan Sunnah, hanyasanya datangnya perbedaan dari orang yang menyelisihi lantaran sedikitnya pengetahuan mereka terhadap apa-apa yang datang dari Nabi Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam dan sedikitnya pengetahuan mereka tentang (hadits) yang shahihnya dan dlo'ifnya."

Dan beliau juga berkata - di dalam salah satu riwayat anaknya Abdullah-, "Apabila seseorang mempunyai kitab-kitab yang tersusun yang di dalamnya terdapat sabda Rasulullah dan tabi'in, maka tidak boleh dia mengamalkan semaunya dan memilihnya lalu dia memutuskan dan mengamalkannya sampai dia bertanya kepada ahli ilmu apa yag harus dia ambil kemudian dia mengamalkannya atas dasar yang shahih."

Dan beliau juga berkata dalam riwayat Abil Harits, "Tidak boleh berfatwa kecuali seorang yang 'alim terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah."

Dan dalam salah satu riwayat dari Hambal beliau berkata, "Patutlah bagi orang yang akan berfatwa 'alim terhadap perkataan (pendapat) orang-orang yang terdahulu, jika tidak maka tidak boleh dia berfatwa." [I'laamul Muwaqqi'in juz I hal 44-45]

Dari kitab Al-Masa'il 2, hal 237-246 Darul Qalam

Comments :

0 komentar to “AKIDAH”

Posting Komentar

Sungguh kesempurnaan itu hanyalah untuk ALLAH SWT semata.

Saran dan kritik teman-teman selalu kami tunggu untuk lebih memperbaiki blog kami ini.