Buletin Al Ghuroba


Serba-Serbi Ramadhan


Keutamaan Bulan Ramadhan


Alhamdulilah...


Tamu agung itu telah tiba, sudah siapkah kita untuk menghidupkanya? Bisa jadi inilah Ramadhan terakhir kita sebelum menghadap kepada Yang Maha Kuasa. Betapa banyak orang-orang yang pada tahun kemarin masih berpuasa bersama kita, melakukan shalat tarawih dan idul fitri di samping kita, namun ternyata sudah mendahului kita dan sekarang mereka telah berbaring di ‘peristirahatan umum’ ditemani hewan-hewan tanah. Kapankah datang giliran kita?

Bulan Ramadhan, bulan yang penuh barokah dan keutamaan. Bulan diturunkannya Al Qur’an yang menunjuki manusia kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akherat. Maka tak heran kaum muslimin menyambutnya dengan penuh suka cita.

Demikianlah Allah memberikan keutamaan pada bulan ini yang tidak dimiliki bulan-bulan lainnya.

Sangat jelas dan gamblang keutamaan Ramadhan dibanding bulan lainnya, namun kiranya masih perlu dipaparkan secara ringkas keutamaannya sebagai motivator semangat kaum muslimin beramal sholeh padanya. Diantara keutamaan tersebut adalah:


a. Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an karena Al-Qur’an diturunkan pada bulan tersebut sebagaimana firman Allah:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa.” (Surat Al Baqarah ayat 185)

b. Dalam bulan ini, para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Jika datang bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu para setan.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, kita dapati dalam bulan ini sedikit terjadi kejahatan dan kerusakan di bumi karena sibuknya kaum-

muslimin dengan berpuasa dan membaca Al-Qur’an serta ibadah-ibadah yang lainnya; dan juga dibelenggunya para setan pada bulan tersebut.

c. Di dalamnya terdapat satu malam yang dinamakan Lailatul Qadar, satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Qadr.

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Surat Al Qadr ayat: 1-5)


http://muslim.or.id/2007/09/27/serba-serbi-ramadhan-amalan-harian-ramadhan-1/



Amalan Harian Ramadhan


I. Qiyam Ramadhan


1. Keutamaan Qiyam Ramadhan

Qiyam Ramadhan adalah menegakkan malam-malam Ramadhan dengan ibadah sholat. Amalan ini memiliki keutamaan-keutamaan bagi pelakunya, yaitu:

a. Mendapat pengampunan dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yang menegakkan (malam-malam) bulan Ramadhan dengan keimanan dan mencari keridhaan Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

b. Mendapat keutamaan shiddiqin dan syuhada sebagaimana hadits Amr bin Murroh:

“Datang kepada Rasulullah seorang laki-laki Bani Qudhaah, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku telah bersyahadat tiada sesembahan yang hak, kecuali Allah, dan bersyahadat bahwa engkau adalah utusan-Nya, aku sholat lima waktu, puasa satu bulan (Ramadhan), dan aku telah menegakkan (malam-malam) Ramadhan serta aku tunaikan zakat?’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang mati atas hal ini, dia termasuk dalam (kelompok) shiddiqin dan orang-orang yang syahid.’” (Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih keduanya dan oleh selainnya dengan sanad yang sahih)

2. Persyariatan Qiyam Ramadhan dengan Berjamaah

Disyariatkan berjamaah dalam melaksanakan Qiyam Ramadhan, bahkan berjamaah itu lebih utama dibandingkan mengerjakannya sendirian, karena Rasulullah telah melakukan hal tersebut.

Rasulullah tidak melakukannya secara berjamaah terus menerus disebabkan beliau takut hal itu diwajibkan atas kaum muslimin lalu mereka tidak mampu untuk mengerjakannya sebagaimana dalam hadits Aisyah (dalam Shahihain).

Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada suatu malam lalu sholat di masjid, dan sholat bersamanya beberapa orang dengan sholatnya, lalu pada pagi harinya manusia membicarakan hal itu,maka berkumpullah orang lebih banyak dari mereka, lalu (Rasulullah) sholat dan sholat bersamanya orang-orang tersebut. Lalu keesokan harinya manusia membicarakan hal itu, maka banyaklah ahli masjid pada malam ke tiga, lalu Rasulullah keluar dan sholat bersama mereka. Ketika malam keempat masjid tidak dapat menampung ahlinya sehingga beliau keluar untuk sholat shubuh, ketika selesai shubuh, beliau menghadap manusia, lalu bertsyahud dan berkata: ”Adapun kemudian, tidaklah mengkhawatirkanku kedudukan kalian, akan tetapi aku takut diwajibkan hal ini atas kalian lalu kalian tidak mampu melaksanakannya.” Lalu Rasulullah meninggal dan perkara tersebut tetap dalam keadaan tidak berjamaah. (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Jumlah Rakaatnya

Adapun jumlah rakaatnya adalah 11 rakaat menurut yang rajih (dikuatkan) insyallah dan boleh kurang darinya dan Rasulullah tidak menentukan banyaknya dan panjang bacaannya.

4. Waktunya

Waktunya dimulai dari setelah sholat ‘Isya’ sampai munculnya fajar shubuh, dengan dalil sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Sesungguhnya Allah telah menambah kalian satu sholat dan dia adalah witir maka sholatlah kalian antara sholat ‘Isya sampai shlat Fajar.” (HR. Ahmad dari Abi Bashroh, dan dishahihkan Al Albany dalam Qiyamur Ramadhan 26)

Dan sholat malam di akhir malam lebih utama bagi yang mampu untuk bangun diakhir malam, dengan dalil sabda Rasulullah:

“Barang siapa yang takut tidak bangun di akhir malam, maka berwitirlah di awalnya, dan barang siapa yang tamak untuk biasa bangun di akhirnya, maka hendaklan berwitir di akhir malam, karena sholat di akhir malam itu dipersaksikan, dan itu lebih utama.” (HR. Muslim)

Tetapi kalau terdapat sholat taraweh berjamaah di awal malam maka itu lebih utama dari sholat taraweh di akhir malam sendirian.

5. Qunut

Setelah selesai dari membaca surat dan sebelum ruku’ kadang-kadang beliau berqunut, dan boleh dilakukan setelah ruku’.

6. Bacaan Setelah Witir

Apabila telah selesai dari witir maka hendaklah membaca:

Subhaanal malikil qudduus Subhaanal malikil qudduus Subhaanal malikil qudduus

Dengan memanjangkan suara dan meninggikannya pada yang ketiga.

Rujukan:

Qiyamur Ramadhan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany

Sifat Shaum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Salim Al Hilaly dan Ali Hasan

http://muslim.or.id/2007/09/27/serba-serbi-ramadhan-qiyam-ramadhan-2/


II. Berpuasa

Setelah melakukan sholat taraweh di malam hari, seorang muslim bersiap melakukan amalan puasa di bulan ramadhan.

Definisi Puasa

1.1. Definisi Secara Bahasa

Shoum (puasa) bermakna al imsak (menahan),

1.2. Definisi Secara Istilah Syari

Bermakna menahsn diri secara khusus dalam waktu tertentu serta dengan syarat-syarat yang tertentu pula dari pembatal-pembatal puasa seperti: makan, minum, berhubungan suami istri, serta seluruh macam syahwat (nafsu), disertai dengan niat yang dimulai sejak terbitny fajar shodiq (pertanda masuknya waktu shubuh) hingga terbenamnya matahari.

Rosulullah bersabda puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sis-sia dan keji, jika ada orang yang mencelamu, katakanlah ”Aku sedang puasa, Aku sedang puasa”.(HR.Ibnu Khuzaimah, Al Hakim, shohih)

“Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah), al-Hakim dan dia menshahihkannya. Al-Albani berkata: “Hasan Shahih.”

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan, “Tujuan dari puasa bukanlah sekedar mengekang tubuh dalam rangka menahan haus dan lapar serta kesulitan, akan tetapi tujuannya adalah menundukkan jiwa dengan meninggalkan sesuatu yang dicintai demi meraih keridhoan Dzat yang dicintai. Adapun perkara dicintai yang ditinggalkan adalah makan, minum dan jima’, inilah nafsu syahwat. Adapun sesuatu yang dicintai yang dicari keridhoan-Nya adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Maka kita harus senantiasa menghadirkan niat ini bahwasanya kita meninggalkan pembatal-pembatal puasa ini demi mencari keridhoan Allah ‘Azza wa Jalla.” (Tsamaniyatu Wa Arba’uuna Su’aalan Fish Shiyaam hal. 10).

Kewajiban Berpuasa di Bulan Ramadhan

Puasa Ramadhan adalah puasa yang diwajibkan oleh Allah atas orang-orang mukmin dan merupakan salah satu dari Rukun Islam yang Lima, sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah serta ijmak kaum muslimin.

a. Dalil dari Al-Qur’an:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah, 2:183)

b. Dalil dari as-Sunnah:

1. Hadits Thalhah bin Ubaidullah radhiallahu’anhu. Beliau berkata,

“Seorang arab pedalaman datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kusut rambutnya - dan terdapat - laki-laki itu, ‘Beritahulah aku apa yang diwajibkan atasku dari puasa.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ramadhan, kecuali kalau engkau ingin tambahan.’” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

2. Hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhu. Beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu: syhadatain, menegakkan solat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan puasa bulan Ramadhan.” (Riwayat al-Bukhari)

c. Dalil dari Ijmak kaum muslimin:

Kaum muslimin telah menyepakati kewajiban puasa Ramadhan sejak dahulu sampai sekarang.

d. Orang yang Wajib Berpuasa

Orang yang wajib menjalankan puasa Ramadhan memiliki syarat-syarat tertentu. Telah sepakat para ulama bahwa puasa diwajibkan atas seorang muslim yang berakal, baligh, sehat, mukim, dan bila ia seorang wanita maka harus bersih dari haidh dan nifas.
Sementara itu tidak ada kewajiban puasa terhadap orang kafir, orang gila, anak kecil, orang sakit, musafir, wanita haidh dan nifas, orang tua yang lemah serta wanita hamil dan wanita menyusui.

Bila ada orang kafir yang berpuasa, karena puasa adalah ibadah di dalam Islam maka tidak diterima amalan seseorang kecuali bila dia menjadi seorang muslim dan ini disepakati oleh para ulama.

Adapun orang gila, ia tidak wajib berpuasa karena tidak terkena beban beramal. Hal ini berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah nshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Diangkat pena (tidak dicatat) dari 3 golongan: orang gila sampai dia sadarkan diri, orang yang tidur hingga dia bangun dan anak kecil hingga dia baligh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Meski anak kecil tidak memiliki kewajiban berpuasa sebagaimana dijelaskan hadits di atas, namun sepantasnya bagi orang tua atau wali yang mengasuh seorang anak agar menganjurkan puasa kepadanya supaya terbiasa sejak kecil sesuai kesanggupannya.
Sebuah hadits diriwayatkan Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiallahu ‘anha:


“Utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan di pagi hari ‘Asyura agar siapa di antara kalian yang berpuasa maka hendaklah dia menyempurnakannya dan siapa yang telah makan maka jangan lagi dia makan pada sisa harinya. Dan kami berpuasa setelah itu dan kami mempuasakan kepada anak-anak kecil kami. Dan kami ke masjid lalu kami buatkan mereka mainan dari wol, maka jika salah seorang mereka menangis karena (ingin) makan, kamipun memberikan (mainan tersebut) padanya hingga mendekati buka puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Sementara itu, bagi orang-orang lanjut usia yang sudah lemah (jompo), orang sakit yang tidak diharapkan sembuh, dan orang yang memiliki pekerjaan berat yang menyebabkan tidak mampu berpuasa dan tidak mendapatkan cara lain untuk memperoleh rizki kecuali apa yang dia lakukan dari amalan tersebut, maka bagi mereka diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib membayar fidyah yaitu memberi makan setiap hari satu orang miskin.

Berkata Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu :


“Diberikan keringanan bagi orang yang sudah tua untuk tidak berpuasa dan memberi makan setiap hari kepada seorang miskin dan tidak ada qadha atasnya.” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Hakim dan dishahihkan oleh keduanya)


Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu tatkala sudah tidak sanggup berpuasa maka beliau memanggil 30 orang miskin lalu (memberikan pada mereka makan) sampai mereka kenyang. (HR. Ad-Daruquthni 2/207 dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya 7/204 dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi, hal. 60)


Orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib atas mereka menggantinya di hari yang lain adalah musafir, dan orang yang sakit yang masih diharap kesembuhannya yang apabila dia berpuasa menyebabkan kekhawatiran sakitnya bertambah parah atau lama sembuhnya.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)

Demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap janinnya atau anaknya bila dia berpuasa, wajib baginya meng-qadha puasanya dan bukan membayar fidyah menurut pendapat yang paling kuat dari pendapat para ulama.

Hal ini berdasar hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiallahu ‘anhu, bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Sesungguhnya Allah telah meletakkan setengah shalat dan puasa bagi orang musafir dan (demikian pula) bagi wanita menyusui dan yang hamil.”

(HR. An-Nasai, 4/180-181, Ibnu Khuzaimah, 3/268, Al-Baihaqi, 3/154, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Yang tidak wajib berpuasa namun wajib meng-qadha (menggantinya) di hari lain adalah wanita haidh dan nifas.Telah terjadi kesepakatan di antara fuqaha bahwa wajib atas keduanya untuk berbuka dan diharamkan berpuasa. Jika mereka berpuasa, maka dia telah melakukan amalan yang bathil dan wajib meng-qadha.

Di antara dalil atas hal ini adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha:

“Adalah kami mengalami haidh lalu kamipun diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

menuju Ramadhan sesudahnya, menjadi penghapus dosa-dosa selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim)

Allahu ta’ala a’lam bish shawab

(Hukum Ringkas Puasa Ramadhan, ditulis oleh Al-Ustadz Abu Abdirrahman Al-Bugisi e-book Majalah Asy Syari’ah I Vp 1.8 (12 September 2005))

Keutamaan Puasa

Telah ada perintah yang menunjukkan bahwa puasa merupakan satu ibadah yang dapat mendekatkan diri pelakunya kepada Allah. Di samping itu, telah dijelaskan keutamaan-keutamaannya, di antaranya adalah yang terkandung dalam firman Allah:

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab, 33:35)

Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah 2:184)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan keutamaan puasa dalam hadits-haditsnya yang sahih, antara lain adalah:

1. Diampuni dosanya yang telah lalu

Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan ihtisab niscaya dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” (Muttafaq ‘alaih).

Al Hafizh Ibnu Hajar menerangkan bahwa yang dimaksud karena iman (di dalam hadits ini –pent) adalah meyakini kebenaran kewajiban puasanya, sedangkan yang dimaksud dengan ihtisab adalah demi mencari pahala dari Allah Ta’ala (lihat Fathul Baari cet. Daarul Hadits Juz IV hal. 136).

Dengan syarat dosa-dosa besar dijauhi, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat lima waktu yang satu dengan lainnya, ibadah Jum’ah menuju Jum’ah yang lain, Ramadhan....

2. Balasan istimewa bagi puasa

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Semua amal anak Adam adalah baginya kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu bagi-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (Muttafaq ‘alaih). Al Imam An Nawawi menerangkan firman Allah Ta’ala, “dan Aku sendiri yang akan membalasnya.”: Ini menjelaskan betapa besar keutamaannya dan amat banyak pahalanya (lihat Syarah Shohih Muslim jilid IV cet. Daar Ibnu Haitsam hal. 482).

3. Puasa adalah perisai

Dari Abu Huroiroh radhiallahu’anhubeliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Puasa adalah perisai, apabila kamu sedang puasa janganlah berkata jorok, janganlah berteriak-teriak dan janganlah berbuat bodoh. Apabila ada seseorang yang mencacinya atau memeranginya maka katakanlah ‘Sesungguhnya aku sedang puasa’ sebanyak dua kali.” (Muttafaq ‘alaih). Syaikh Al ‘Utsaimin menerangkan makna puasa adalah perisai yaitu: sebagai tameng dan penghalang yang menjaga orang yang berpuasa dari melakukan perbuatan yang sia-sia dan berkata jorok… dan puasa juga melindunginya dari siksa neraka, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir rodhiyAllahu ‘anhu dengan sanad hasan bahwa Nabi bersabda, “Puasa adalah perisai yang digunakan hamba untuk melindungi dirinya dari neraka.” (lihat Majaalis Syahri Ramadhan cet Daarul ‘Aqidah hal. 12).

4. Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum daripada kasturi

Dari Abu Huroiroh radhiallahu’anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya sungguh bau mulut orang yang sedang puasa itu lebih harum di sisi Allah pada hari kiamat daripada bau minyak kasturi.” (Muttafaq ‘alaih). Syaikh Al ‘Utsaimin menerangkan, “Harumnya bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah melebihi harumnya minyak kasturi karena ia timbul dari pengaruh puasa, sehingga baunya harum di sisi Allah Subahanahu dan dicintai-Nya, ini adalah dalil yang menunjukkan agungnya kedudukan puasa di sisi Allah sampai-sampai sesuatu yang tidak disenangi dan dirasa kotor di sisi manusia menjadi sesuatu yang dicintai di sisi Allah serta berbau harum karena ia muncul dari ketaatannya dengan menjalankan puasa.” (lihat Majaalis Syahri Ramadhan cet Daarul ‘Aqidah hal. 12).

5. Pintu khusus di surga bagi orang yang berpuasa

Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu’anhubeliau berkata: Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah pintu yang disebut Ar Royyaan, pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa masuk melalui pintu itu, tidak seorangpun yang masuk selain mereka. Apabila mereka telah masuk maka pintu itu ditutup dan tidak ada lagi orang yang masuk melewatinya.” (Muttafaq ‘alaih)

6. Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan

Dari Abu Huroiroh radhiallahu’anhubeliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan yang dia bergembira dengannya: ketika berbuka dia bergembira dengan bukanya dan ketika berjumpa Robbnya dia bergembira dengan puasanya.” (Muttafaq ‘alaih)

http://muslim.or.id/2007/09/27/serba-serbi-ramadhan-berpuasa-3/

http://muslim.or.id/2007/09/12/puasa-menahan-diri-demi-menggapai-ridho-illahi-2/



III. Amalan -Amalan yang Berhubungan Dengan Puasa


1. Niat

Jika telah masuk bulan Ramadhan, wajib atas setiap muslim untuk berniat puasa pada malam harinya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa itu.” (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan al-Baihaqy dari Hafshah binti Umar)

“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu’anhu)

Niat tempatnya di hati dan tidak perlu diucapkan (dilafalkan). Kewajiban berniat puasa pada malam hari khusus untuk puasa wajib saja.


2. Waktu Puasa

Adapun waktu puasa dimulai dari terbit fajar shodiq (fajar yang kedua/subuh) sampai terbenam matahari dengan dalil firman Allah,

“Dan makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian putihnya siang dan hitamnya malam dari fajar.” (QS. Al-Baqarah, 2:186)


3. Sahur


3.3. Sunnah Mengakhirkannya

Disunnahkan mengakhirkan sahur sampai mendekati subuh (fajar) sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,

“Kami bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pergi untuk solat.” Aku (Ibnu Abbas) bertanya, “Berapa lama antara azan dan sahur?” Beliau menjawab, “Sekitar 50 ayat.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)


3.4. Hukumnya

Sahur merupakan sunnah yang muakkad (ditekankan) dengan dalil:

a. Perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk itu sebagaimana hadits yang terdahulu dan juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Bersahurlah karena dalam sahur terdapat berkah.” (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim)

b. Larangan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari meninggalkannya sebagaimana hadits Abu Sa’id yang terdahulu. Oleh karena itu, al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary (3/139) menukilkan ijmak atas kesunnahannya.


4. Perkara-Perkara yang Membatalkan Puasa

Di dalam puasa ada perkara-perkara yang merusaknya, yang harus dijauhi oleh seorang yang berpuasa pada siang harinya. Perkara-perkara tersebut adalah:

a. Makan dan minum dengan sengaja sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan makanlah dan minumlah kalian sampai jelas baggi kalian benang putih siang dari benang hitam malam dari fajar.” (QS. Al-Baqarah, 2:186)

b. Sengaja untuk muntah (muntah dengan sengaja).

c. Haid dan nifas.

d. Injeksi (suntikan) yang berisi makanan (infus).

e. Berhubungan suami-istri.

Kemudian ada perkara-perkara lain yang harus ditinggalkan oleh seorang yang berpuasa, yaitu:

1. Berkata bohong sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan berkata bohong dan beramal dengannya, maka Allah tidak butuh dengan usahanya meninggalkan makan dan minum.” (Riwayat al-Bukhari)

2. Berbuat kesia-siaan dan kejahatan (kejelekan) sebagaimana disebutkan dalam hadits

Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Bukanlah puasa itu (menahan diri) dari makan dan minum. Puasa itu hanyalah (menahan diri) dari kesia-siaan dan kejelekan, maka kalau seseorang mencacimu atau berbuat kejelekan kepadamu, maka katakanlah, ‘Saya sedang puasa. Saya sedang puasa.’” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim)


5. Perkara-Perkara yang Dibolehkan

Ada beberapa perkara yang dianggap tidak boleh padahal dibolehkan, di antaranya:

Orang yang junub sampai datang waktu fajar sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan fajar (subuh) dalam keadaan junub dari keluarganya kemudian mandi dan berpuasa.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

· Bersiwak.

· Berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika bersuci.

· Bersentuhan dan berciuman bagi suami-istri yang berpuasa dan dimakruhkan bagi suami-istri yang berusia muda (yang kurang bisa menahan syahwatnya).

· Injeksi (suntikan) yang bukan berupa makanan.

· Berbekam.

· Mencicipi makanan selama tidak masuk ke tenggorokan.

· Memakai penghitam mata (celak) dan tetes mata.

· Menyiram kepala dengan air dingin dan mandi.


6. Orang-Orang yang Dibolehkan Tidak Berpuasa

Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang mudah. Oleh karena itu, ia memberikan kemudahan dalam puasa ini kepada orang-orang tertentu yang tidak mampu atau sangat sulit untuk berpuasa. Mereka itu adalah sebagai berikut:

· Musafir (orang yang sedang dalam perjalanan/bepergian ke luar kota).

· Orang yang sakit.

· Wanita yang sedang haid atau nifas.

· Orang yang sudah tua dan wanita yang sudah tua dan lemah.

· Wanita yang hamil atau menyusui.


7. Berbuka Puasa


7.1. Waktu berbuka

Berbuka puasa dilakukan pada waktu terbenam matahari.

Dari Umar bin Al Khoththob rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Apabila malam sudah datang dari arah sini (barat) dan apabila siang telah pergi ke arah situ (timur), maka orang yang berpuasa telah berbuka.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1954, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1100, dan Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2351)


7.2. Menyegerakan Buka Puasa

Termasuk dalam sunnah puasa adalah menyegerakan waktu berbuka apabila matahari sudah benar-benar tenggelam dalam rangka mengikuti contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebagaimana yang dikatakan oleh Amr bin Maimun al-Audy bahwa sahabat-sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambatsahurnya. (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Musannaf no 7591 dengan sanad yang disahihkan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary 4/199)


Adapun manfaatnya adalah:

1. Mendapatkan kebaikan sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Sahl bin Saàd radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasanya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

2. Merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

3. Dalam rangka menyelisihi ahli kitab sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Agama ini akan senantiasa menang selama manusia (kaum muslimin) mempercepat buka puasanya karena orang-orang Yahudi dan Kristen (Nashrani) mengakhirkannya.” (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan)

Buka puasa dilakukan sebelum sholat maghrib karena itu merupakan akhlak para nabi. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi kita untuk berbuka dengan kurma dan kalau tidak ada kurma, maka memakai air. Ini merupakan kesempurnaan kasih sayang dan perhatian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya.


8. Adab Orang yang Berpuasa

Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk beradab dengan adab-adab yang syar’i, di antaranya:

· Mengakhirkan sahur.

· Mempercepat berbuka puasa.

· Berdoa ketika berpuasa dan ketika berbuka.

· Menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasa.

· Bersiwak.

· Berderma dan membaca Al-Qur’an.

· Bersungguh-sungguh dalam beribadah khususnya pada sepuluh hari terakhir.

http://muslim.or.id/2007/09/27/serba-serbi-ramadhan-amalan-amalan-yang-berhubungan-dengan-puasa-4/



Zakat Fitrah

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum mengeluarkan zakat fitrah pada sepuluh hari pertama pada bulan Ramadhan?


Beliau rahimahullah menjawab: Kata zakat fitrah berasal dari kata al-fithr (berbuka), karena dari al-fithr inilah sebab dinamakan zakat fitrah. Apabila berbuka dari Ramadhan merupakan sebab dari penamaan ini, maka zakat ini terkait dengannya dan tidak boleh mendahuluinya (dari berbuka-masuk Syawal-red). Oleh sebab itu, waktu yang paling utama dalam mengeluarkannya adalah pada hari ‘Ied sebelum shalat (‘Ied). Akan tetapi diperbolehkan untuk mendahului (dalam mengeluarkannya) sehari atau dua hari sebelum ‘Ied agar memberi keleluasaan bagi yang memberi dan yang mengambil. Sedangkan zakat yang dilakukan sebelum hari-hari tersebut, menurut pendapat yang kuat di kalangan para ulama adalah tidak boleh. Berkaitan dengan waktu penunaian zakat fitrah, ada dua bagian waktu:

1.Waktu yang diperbolehkan, yaitu sehari atau dua hari sebelum ‘Ied

2.Waktu yang utama, yaitu pada hari ‘Ied sebelum shalat

Adapun mengakhirkannya hingga usai melaksanakan shalat, maka hal ini haram (terlarang) dan tidak sah sebagai zakat fitrah. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma:

“Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat, maka zakatnya diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat, maka itu termasuk dari shadaqah.”

Kecuali apabila orang tersebut tidak mengetahui (kapan) hari ‘Ied. Misalnya dia berada di padang pasir dan tidak mengetahuinya kecuali dalam keadaan terlambat atau yang semisalnya. Maka tidak mengapa baginya untuk menunaikannya setelah shalat ‘Ied, dan itu mencukupi sebagai zakat fitrah.

Beliau rahimahullah ditanya: Kapankah waktu mengeluarkan zakat fitrah? Berapa ukurannya? Bolehkah menambah takarannya?

Beliau rahimahullah menjawab: Zakat fitrah adalah makanan yang dikeluarkan oleh seseorang di akhir bulan Ramadhan, dan ukurannya adalah sebanyak satu sha’

Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ kurma, atau gandum.” Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan shadaqatul fithr sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.”

Maka zakat fitrah itu berupa makanan pokok masyarakat sekitar. Pada masa sekarang yakni kurma, gandum, dan beras. Apabila kita tinggal di tengah masyarakat yang memakan jagung, maka kita mengeluarkan jagung atau kismis atau aqith (susu yang dikeringkan). Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu: “Dahulu kami mengeluarkan zakat pada masa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam (seukuran) satu sha’ dari makanan, dan makanan pokok kami adalah kurma, gandum, kismis, dan aqith.”

Adapun menambah takarannya lebih dari satu sha’ dengan tujuan untuk ibadah, maka termasuk perkara yang baru(yang sebaiknya ditinggalkan). Namun apabila untuk alasan shadaqah dan bukan zakat, maka boleh dan tidak berdosa. Dan lebih utama untuk membatasi sesuai dengan yang ditentukan oleh syariat. Dan barangsiapa yang hendak bershadaqah, hendaknya secara terpisah dari zakat fitrah.

Banyak kaum muslimin yang berkata: Berat bagiku untuk menakar dan aku tidak memiliki takaran. Maka aku mengeluarkan takaran yang aku yakini seukuran yang diwajibkan atau lebih dan aku berhati-hati dengan hal ini. Maka yang demikian ini dibolehkan.

(Diambil dari kitab Majmu’ Fatawa li Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, juz 18 bab Zakatul Fithr)


Laa haula wa laa quwwata illa billaah...

Teruslah bersemangat saudara-saudariku, karena sesungguhnya dunia ini fana, dan akhiratlah alam keabadian. Waktu dunia berjalan begitu cepatnya, jauh lebih cepat dari kedipan mata. Jadi, manfaatkanlah tiap masa yang kita miliki dengan sebaik-baik amal, amal yang syar’i ...




BULETIN AL GHUROBA’
Diterbitkan Oleh : Seksi Dakwah Remas Baitur Rahman SMU Negeri 1 Jember.Penasehat : Drs. Noer Faqih Arsy.Pemimpin Redaksi :Indra Kusuma. Penyunting:RohisAlumni [rohis_alumni@yahoo.co.id] Dewan Redaksi: Moh. Fahrur, Haris N, Febrian Maulana, Reza Syam, Reza K, Yusuf, Irma.Sekretaris :Desi. Keuangan : Nurul. Alamat : Jl. Letjen Panjaitan no. 55 Telp : 0331) 338586.